D.N Aidit : Siapa Bilang Aku Komunis?

JELAJAH Sejarah
JELAJAH Sejarah
377.5 هزار بار بازدید - 2 ماه پیش - Tahun 1923 seorang Dipa Nusantara
Tahun 1923 seorang Dipa Nusantara Aidit Terlahir.

tepatnya 30 Juli 1923 Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, Billiton adalah sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra, Aidit tumbuh dan berkembang dalam kultur Melayu yang amat religius.

Aidit kecil hidup dalam nuansa yang Islami. Setiap magrib, Aidit dan adik-adiknya sembahyang di musala. Selepas itu mereka mengikuti pengajian sampai datangnya waktu sembahyang isya. Saat di mushola Aidit sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap lugas dan lafalnya jelas

Yang paling lucu, Aidit kecil dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya karena nama depanya Ahcmad. Amat atau Acmar Aidit dikenal sebagai anak pengajian dan aktivitasnya sehari-hari sebagai muadzin dan penghafal Al-Qur'an. Bahkan dia sempat menghatamkan Al-Qur'an terlebih dahulu di depan keluarganya setelah itu menggelar syukuran.

Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda, Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.

Adapun ibu D.N. Aidit bernama Mailan.
Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung, putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah.

Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Aidit juga memiliki memiliki dua saudara tiri. Sosok Aidit sendiri mewarisi watak keras dari kedua orangtuanya. Sebagai anak sulung, Aidit menjadi pelindung disaat adik-adiknya diganggu dan mendapat ancaman.

Sejak kecil, salah satu keunggulan dari Aidit ini adalah memiliki pergaulan yang sangat luas. dia mampu bergaul dengan semua etnis dan lapisan sosial di Belitung.

Coba perhatikan, Dari anak tangsi sampai golongan Tionghoa adalah temannya. Aidit sering diajak pergi memancing ikan pada malam hari oleh ayah temannya yang merupakan seorang nelayan.

Pengalamannya ini ditulis di buku harian Aidit. Dia mencatat tentang berapa jumlah hasil tangkapan nelayan dan ongkos yang dikeluarkan setiap perjalanan melaut, kemudian Aidit mencatat jerih payah nelayan itu yang tidak sebanding dengan upah yang didapat dalam menjual hasil tangkapannya di pasar. Ternyata aidit memiliki pemikiran kritis.

Selain bermain dengan anak seusianya, Aidit suka berkumpul dan bergaul dengan buruh timah. Karena di Blitung ada Tambang Timah besar.

Ia menjelaskan ada seorang teman seusianya yang menjadi buruh timah. Achmad kemudian menaruh simpati atas eksploitasi yang dirasakan oleh buruh.

Setiap hari Aidit melihat buruh berlumur-lumpur, bermandi keringat dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hidup hura-hura.

Aidit kemudian mencoba memahami kondisi buruh dengan cara ikut masuk ke dalam kehidupannya. Para buruh mengenalnya sebagai teman bercerita dan pendengar yang baik. Pada saat dimana buruh sedang bekerja untuk membersihkan kebun pekarangan, Aidit ikut membantu menyapu, memacul, hingga membuat lubang untuk pohon pisang.

Pada saat melakukan pekerjaan itu buruh biasanya menceritakan pengalaman bekerja di perusahaan timah kepada Aidit. Hingga buruh mengajak Aidit makan, entah singkong goreng ataupun buah-buahan, dalam keadaan santai ini buruh itu bercerita tentang keadaan sesungguhnya yang dia alami.

Pergaulan Aidit dengan orang-orang tertindas inilah, menurut Murad atau saudara kandungnya yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Aidit dikemudian hari. Sejak kecil, Aidit merupakan orang yang mau tahu kehidupan rakyat dimanapun dia berada. Berbeda dengan adik-adiknya yang menganggap kondisi di masyarakat merupakan hal yang biasa saja dan lumrah terjadi.

Di awal 1936, Aidit kemudian menamatkan pelajaran HIS di Bangka Hollandsch-Inlandsche School (disingkat HIS) (sekolah Belanda untuk bumiputera) adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda,

Achmad Aidit yang pada saat itu baru berusia 13 tahun menyatakan niatnya keluar dari kampong. “Aku mau ke Batavia” katanya seperti dikutip dari buku Aidit: Dua Rupa Wajah Dipa Nusantara. Ia melanjutkan sekolah ke Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.


Di Jakarta Aidit tinggal cukup lama di daerah Cempaka Putih, rumah milik kawan Abdullah seorang mantri polisi yang bernama Marto.

Idealisme dan bakat kepemimpinan DN Aidit lebih menonjol di antara kawan sebayanya di MHS.

Pernah sekali ia mengorganisasi kawannya untuk melakukan bolos massal demi mengantarkan jenazah pejuang kemerdekaan, Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan.

Aidit sendiri ternyata tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS, dia lebih aktif di kegiatan luar sekolah.

Situasi politik ibu kota menarik bagi Aidit. Aidit sangat cepat dalam beradaptasi. Dengan berbekal identitas kedaerahan, dia memiliki akses untuk bergaul dengan sesama anak muda yang berasal dari Sumatra.
2 ماه پیش در تاریخ 1403/04/14 منتشر شده است.
377,577 بـار بازدید شده
... بیشتر